Perjalanan kereta rute Purwokerto menuju Jakarta. Aku terdiam sepanjang jalan kenangan. Lelaki duduk disampingku, sekilas nampak wajah teduh. Hati dan rasaku mulai terusik. Diam-diam aku amati lelaki itu, ia kerap melakukan percakapan telepon dengan kolega, cukup bersahaja dan syar'i. Setidaknya, ada sedikit kesimpulan tentang sosok yang duduk disebelahku, ah kesimpulan yang terlalu dini.
Kata sapaan tak kunjung ada. Akupun enggan menyapanya lebih dulu, teringat kultur tak bersahabat untuk menyapa lebih dulu dan tabu untuk sekedar menyapa basa-basi, lalu hanya tercipta bahasa kalbu, diam sepanjang jalan.
Lelaki disampingku tetap sibuk dengan HP dan laptopnya, sibuk sekali!. Gadget itu telah mengesampingkan keberadaan diriku. Sesekali aku dan lelaki itu menoleh beradu pandang dan saling lirik dengan sudut mata. Anganku melayang dan mengembara sendiri tanpa permisi. Tidak ada hal yang mampu mengalihkan gelitik rasa, tidak juga pemandangan diluar jendela yang hanya pekat malam. Tidak juga kecamuk kata-kata di lorong kereta.
Lelaki itu membuatku salah tingkah, seandainya saja bangku sebelah itu kosong. Aku tak akan bertindak konyol dengan diam-diam menyemprotkan parfum terlalu banyak dan wangi menusuk. Kekonyolan lainnya adalah kantukku leyap dan terjaga sepanjang 5 jam perjalanan malam.
Hingga aku tiba di stasiun tujuan lebih dulu, lelaki itu berdiri memberi aku jalan keluar dan terlihat jelas tubuh tegap, tatapan tajam, raut wajah tegas dan senyuman tipis manis. Sebuah rasa tergilas sepanjang jalan oleh roda kereta. Detik-detik langkah terakhir meninggalkan gerbong kereta, hanya helaan napasku menyesali atas pertanyaan sederhana yang tak menemukan jawaban, “siapa kamu?”, “turun di stasiun apa dan pulang kemana?”. Aah, “sampai jumpa lagi lelaki tanpa nama, pada safar berikutnya di gerbong kereta kehidupan (masing-masing).”
#ParagrafNina
Comments
Post a Comment