Tokyo Camii adalah mesjid terbesar dan salah satu tertua di Jepang. Tepatnya, beralamat di 1-19 Oyama-cho, Shibuya-ku, Tokyo. Alamat mesjid tak sulit dicari. Dengan bermodal peta subway, dan bertanya kepada satu orang Jepang di jalan, mesjid Tokyo Camii dapat aku capai.
Menjelang sore, aku memulai perjalanan dari stasiun Wakamatsu kawada ( dekat dari dormitory) menuju stasiun Yoyogi Uehara. Sebetulnya perjalanan ke mesjid Camii dari tempatku hanya sekitar 25 menit kalau naik taxi, tapi jangan pernah naik taxi di Jepang, karena mahaaal :). Perjalanan naik kereta cukup nikmat, walaupun harus 3 kali transit dan berganti line, dan naik turun tangga atau eskalator di dalam stasiun. Setelah sampai stasiun tujuan, lanjut jalan kaki sekitar 10 menit. Akhirnya sampai di Mesjid Camii dengan selamat dan kemaleman ( di Tokyo jam 5 sudah seperti malam, gelap dan dingin).
Bayangan yang ada dalam benakku : setelah sampai bakal ketemu jajanan di sekitar mesjid, karena perut lapar banget. Tapi nihil, jajanan yang banyak di sekitar mesjid adanya di Indonesia :). Untungnya dekat mesjid ada mini market, lumayan ada roti yang insyallah aman dan halal dimakan.
Mesjid Camii nan megah dengan bangunan bergaya Turki. Lokasi mesjid berada di sekitar bangunan-bangunan yang padat, baik perumahan maupun pertokoan. Sebutan mesjid terbesar, tidak sepenuhnya besar, hanya seukuran mesjid-mesjid di perumahan Jakarta. Mesjid memiliki menara yang menjulang. Suasana kala itu gelap dan sepi, sebelum masuk ke dalam mesjid, aku duduk-duduk di tangga mesjid tepat pinggir jalan, sambil makan roti. Hanya ada beberapa orang pejalan kaki yang melintas. Tiba-tiba seorang akhwat asal Indonesia menyapa. Alhamdulillah, senangnya bertemu saudara muslim Indonesia. Kami langsung akrab dan ngobrol panjang, seperti sudah lama kenal ;). Dari mba akhwat itu, aku pun dapat informasi besok ada festival di mesjid ini, syiar rutin dari pengurus Islamic Center of Japan. Beliau mewajibkan aku untuk datang, silahturahmi dengan muslim-muslim lain yang berasal dari beragam negara, katanya. Mba akhwat adalah salah satu panitia festival, dia cukup aktif di mesjid. Oiya, beliau sudah sejak tahun 2002 tinggal di Tokyo, ikut suami dinas, dan beliau adalah ibu dari 5 orang anak. Bersyukur aku mengenal sosoknya, walau cuma sesaat. Kamipun berpisah di depan mesjid.
Menjelang adzan Isya, tangga mesjid mulai aku tapaki, cukup curam dan basah ( setelah hujan sore tadi). Memasuki mesjid dengan perasaan ketar ketir dan takut, karena seperti memasuki museum tua, horor, dan sepi sekali. Bangunan dalam mesjid ternyata sangat unik, bergaya arsitektur khas Timur Tengah. Tempat sholat perempuan berada dilantai atas, dicapai dengan menaiki tangga yang melingkar. Tempat wudhu sulit kutemukan, dan ternyata ada dilantai paling bawah. Akhirnya adzan Isya berkumandang, dengan muadzin orang muslim Jepang dan aksen yang tidak biasa. Muadzin itu sekaligus imam sholat. Dari tempat perempuan, aku bisa melihat ke lantai bawah tempat laki-laki. Hanya ada sekitar 7 orang makmum, yang semuanya bertampang pria timur tengah. Sementara dibarisan perempuan hanya ada satu orang perempuan cantik berparas timur tengah juga.
Setelah sholat dan puas melihat-lihat sudut bangunan mesjid, akhirnya aku pulang berjalan kaki menuju stasiun, sedikit bergegas karena kereta terakhir pukul 11 malam.
Meninggalkan mesjid Camii dalam kenangan...mesjid antik, sepi, dingin dan sedikit misterius. Tiba-tiba rindu mesjid-mesjid di Indonesia, rindu keramaian jamaah dan kumandang adzan yang merdu dan syahdu.
#Japan
Comments
Post a Comment