Saat itu, hujan deras mengguyur kota persinggahanku. Angin kencang dan dingin, seolah siap menghepas tubuh lunglai dan gemetar. Teras toko tempat berteduh tak cukup menghalau terpaan hujan, angin dan gemuruh langit. Lalu kemana lagi hendak menuju, sepanjang jalan, hanya toko itu yang memberi penerangan cukup, walau genangan air di emperan toko sudah mulai meninggi. Tubuh basah kuyup dan menggigil kian menghalangi langkah yang memang sudah lelah. Malam kian larut dan sepi. Sungguh, malam saat itu tidak bersahabat.
***
Aku mengendap perlahan, menuju arah suara merdu lantunan ayat alquran. Suara itu berasal dari sebuah rumah yang sebagian sudah hancur oleh ledakan roket.
Aku berhasil mengintip lewat celah puing-puing tembok yang runtuh. Suara itu makin jelas kudengar. Ayat-ayat alquran syahdu terdengar, jernih dan merdu bak suara dari surga, alunan keabadian. Pemilik suara itu adalah seorang bocah kira-kira berusia 7 tahun, yang sedang duduk disamping jasad seorang perempuan. Cahaya rembulan dan bintang menerangi pandanganku. Aku mendekat, dan terlihat jelas sesosok perempuan terkapar dengan pakaian robek compang-camping, kepalanya tertutup selembar kain putih, dan genangan merah darah yang mengering disekitar bagian perut perempuan itu. Sang bocah tetap mengaji, tanpa suara gemetar ataupun isyarat ketakutan.
"Ia ibuku, tadi pasukan Israel yang sedang patroli mengusik kami" ucap sang bocah lirih.
Wilayah timur Rafah dibawah status jam malam. Pasukan biadab Israel gencar melakukan kampanye pemboman melalui udara. Nyaris setiap malam, dan kapan saja tanpa terduga akan terdengar ledakan dahsyat, mortir-mortir menghujam berdatangan, disusul bunyi sesuatu yang rubuh atau hancur.
"Aku haus, haus....minum.." rintih sang bocah. Suaranya tergilas oleh desingan peluru dan bom diluar sana.
"Tenang sayang, aku akan mencari air untukmu" jawabku. Aku papah sang bocah untuk rebah disudut ruang yang masih cukup aman dari rerentuhan. Tubuhnya demam. Aku tarik sehelai jilbab biru yang tergelak di sudut ruang itu, untuk sekedar menyelimuti tubuhnya.
Aku melihat sekeliling, tidak ada persediaan air di rumah itu. Aku bergegas keluar rumah, entah hendak kemana aku mencari air. Suasana sekitar masih mencekam, sisa gempuran porak poranda, suara tangisan masih membahana.
Aku terus melangkah, sesekali menolong anak-anak dan perempuan yang menjerit histeris. Aku bergegas mencari air untuk sang bocah. Tak ada air. Hanya air mata yang kudapati, itupun langsung terhisap oleh bumi. Getir mengendap dalam sukma dan sanubari.
Akhirnya, aku mendapat air dari seorang ibu yang baru saja kutolong. Aku bergegas kembali menuju sang bocah. Arah rumah itu jelas aku hafal, sebab aku memang menghafalnya sejak keluar rumah tadi, agar aku tak salah arah berbalik.
Rumah itu telah lenyap, bom dahsyat telah menghujam. Rata dengan bumi. Kejadiannya pasti saat aku mencari air tadi dan menolong beberapa orang, yang telah menyita waktuku. "Allahuakbar...." Seharusnya tadi aku membopong sang bocah pergi dari rumah, tidak begitu saja kutinggalkan. Sesalku kian menjadi.
Setengah tak kuasa, aku mencari sisa tubuh bocah malang itu, atau sekedar potongan baju atau jilbab biru yang menyelimutinya tadi. Kemana tubuh itu.....tiba-tiba suara sang bocah melantunkan ayat alquran bergema merdu ditelingaku...syahdu.
****
Suara sirine ambulan terdengar kencang. Perlahan aku membuka mata. Dadaku terasa berat. Aku melihat dokter dan perawat sedang sigap memeriksa tubuhku. "Dimana aku?"
"Alhamdulillah, mba sudah siuman. Kita sedang menuju rumah sakit, tadi mba pingsan, tergeletak didepan toko"......
" Ah..."
*************
#ParagrafNina
Comments
Post a Comment