Emosi, geram merupakan bentuk keprihatinan yang berujung kesedihan mendalam bagi siapa saja yang menyaksikan anak-anak bangsa merengang nyawa akibat setenggak dua tenggak miras oplosan. Cukup sering kita disuguhkan berita seperti itu dari bumi pertiwi, dan belum lama ini terjadi di daerah Jawa Barat. Korbannya tidak hanya satu atau dua tapi ratusan. Seberapa jauh anak-anak muda itu mengetahui bahaya miras tersebut yang dapat menyebabkan kematian?. Terlepas dari jawaban mereka, lalu atas dasar itu pula, siapakah yang bertanggung jawab?.
Sudah jelas bukti data menunjukkan bahwa kasus – kasus akibat miras maupun “ngelem”, narkoba, hingga penderita hiv/aids akibat penasun (pengguna narkoba suntik) dan prilaku seks bebas tertinggi disandang pada kelompok usia produktif yaitu para generasi muda, antara usia 20 - 29 tahun, bahkan rentang usia pelajar mulai meningkat. Bisa dibayangkan kondisi mereka 10 tahun hingga 20 tahun kedepan ?. Kasus-kasus tersebut jelas saling terkait, dekat dan akrab bahkan memberi keseragaman efek jangka panjang antara lain pada otak dan mengakibatkan rusaknya fungsi kognitif atau daya pikir.
Masih adakah orang yang menggangap “sok moralis” apabila memperbincangkan hal ini ?!, bagaimana kalau mereka itu adalah anak-anak atau keluarga kita sendiri(na’udzubillah)?. Jelas moral sudah tergadai apabila tidak ada lagi yang peduli terhadap para pemuda yang terjerat kasus-kasus seperti itu. Sudah waktunya moral dikedepankan bagi semua pihak bukan hanya si pemuda tersebut, tapi mulai dari orang tua, keluarga, lingkungan sekitar, termasuk pihak sekolah, media massa hingga aparat penegak hukum dan jajaran pemerintahan daerah maupun pusat agar degradasi moral tidak terjadi secara masif.
Tidak ada salahnya kita umpamakan semua kasus tersebut sebagai suatu penyakit kronik yang membutuhkan tata laksana optimal agar bisa sembuh. Selayaknya penangan kasus penyakit kronik yaitu antara lain pasien perlu patuh menelan obat pahit dalam jangka waktu panjang, ketersediaan obat perlu dijamin oleh pemerintah, dokter perlu evaluasi ketat dan berkesinambungan, kehadiran orang pengawas minum obat juga sedemikian penting. Jadi , bukan perkara sederhana antara dokter dan pasien saja, tetapi keterlibatan berbagai pihak, kerja sama serta komitmennya sangat dibutuhkan demi tercapainya target terapi yang diharapkan.
Demikian pula contohnya pada kasus miras, semua pihak bertanggung jawab dan harus tergerak melibatkan diri dalam penangannya . Mulai dari kesadaran para pemuda itu sendiri bahwa mengisi masa muda dengan hal bermanfaat amat penting, menyadari betapa seleksi alam berperan terhadap mereka yang menyia-nyiakan waktu dan zaman akan menggilas mereka yang menjeratkan dirinya pada kesenangan sesat dan sesaat. Semoga ada hikmah bagi seluruh pemuda atas berbagai peristiwa yang merenggut nyawa teman-teman mereka akibat pesta miras dan lain sebagainya. Bagi para pelaku tentu bukan sekedar adanya efek jera, melainkan butuh penanganan serius agar bisa sembuh.
Peran orangtua atau wali dan keluarga lebih dituntut sebagai role model yang baik bagi anak. Para orangtua siap bercermin apabila ada sikap buruk dari seorang anak. Pendidikan agama lebih diprioritaskan, kendati di lingkungan religius sekalipun masih terjerat kasus miras, bagaimana jika kehidupan jauh dari nilai agama?. Serta harmonisasi dan komunikasi dalam keluarga yang perlu diupayakan dan dijaga utuh.
Peran kalangan pendidik, sekolah atau kampus hingga organisasi masyarakat, LSM dan media massa sebagai penyuluh atau jembatan informasi yang secara tidak langsung mempunyai peranan preventif dan penyeimbang dari derasnya arus informasi dan globalisasi.
Peran BPOM (badan pengawas obat dan makanan), sudahkah menjalankan kewenangannya dalam hal pengawasan peredaran miras?. Apabila peredaran miras oplosan bukan kewenangan BPOM, tetapi selama ini apakah produksi dan distribusi miras (baik yang diproduksi lokal atau impor) sudah benar-benar dibawah kendali ketat dan terpadu dari BPOM?.
Aparat penegak hukum contoh kepolisian sebagai pelindung masyarakat seharusnya bertindak lebih sigap dan cepat terhadap orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan ingin merusak anak bangsa dengan mengedarkan miras oplosan, bukan malah menjadi oknum yang terlibat dalam peredarannya. Sanksi yang lemah selama ini menjadi celah bagi pengedar untuk mengulang aksinya kembali.
Pada tingkat pemilik kebijakan, perlu keseragaman peraturan daerah tentang pelarangan total peredaran miras tanpa pengecualian apapun atau tanpa peraturan yang bersifat parsial. Hal itu sebagai penyokong bagi semua pihak dalam menjalankan peranannya. Bagi daerah yang sudah memberlakukan perda antimiras, maka perlu ditinjau kembali penerapannya dan menindak tegas setiap pelanggarannya. Bagi aparat pemerintah sudah sepatutnya lebih berpihak pada kepentingan anak bangsa dibanding kepentingan para penguasa atau pengusaha demi membangun generasi muda untuk masa depan.
Sudah jelas bukti data menunjukkan bahwa kasus – kasus akibat miras maupun “ngelem”, narkoba, hingga penderita hiv/aids akibat penasun (pengguna narkoba suntik) dan prilaku seks bebas tertinggi disandang pada kelompok usia produktif yaitu para generasi muda, antara usia 20 - 29 tahun, bahkan rentang usia pelajar mulai meningkat. Bisa dibayangkan kondisi mereka 10 tahun hingga 20 tahun kedepan ?. Kasus-kasus tersebut jelas saling terkait, dekat dan akrab bahkan memberi keseragaman efek jangka panjang antara lain pada otak dan mengakibatkan rusaknya fungsi kognitif atau daya pikir.
Masih adakah orang yang menggangap “sok moralis” apabila memperbincangkan hal ini ?!, bagaimana kalau mereka itu adalah anak-anak atau keluarga kita sendiri(na’udzubillah)?. Jelas moral sudah tergadai apabila tidak ada lagi yang peduli terhadap para pemuda yang terjerat kasus-kasus seperti itu. Sudah waktunya moral dikedepankan bagi semua pihak bukan hanya si pemuda tersebut, tapi mulai dari orang tua, keluarga, lingkungan sekitar, termasuk pihak sekolah, media massa hingga aparat penegak hukum dan jajaran pemerintahan daerah maupun pusat agar degradasi moral tidak terjadi secara masif.
Tidak ada salahnya kita umpamakan semua kasus tersebut sebagai suatu penyakit kronik yang membutuhkan tata laksana optimal agar bisa sembuh. Selayaknya penangan kasus penyakit kronik yaitu antara lain pasien perlu patuh menelan obat pahit dalam jangka waktu panjang, ketersediaan obat perlu dijamin oleh pemerintah, dokter perlu evaluasi ketat dan berkesinambungan, kehadiran orang pengawas minum obat juga sedemikian penting. Jadi , bukan perkara sederhana antara dokter dan pasien saja, tetapi keterlibatan berbagai pihak, kerja sama serta komitmennya sangat dibutuhkan demi tercapainya target terapi yang diharapkan.
Demikian pula contohnya pada kasus miras, semua pihak bertanggung jawab dan harus tergerak melibatkan diri dalam penangannya . Mulai dari kesadaran para pemuda itu sendiri bahwa mengisi masa muda dengan hal bermanfaat amat penting, menyadari betapa seleksi alam berperan terhadap mereka yang menyia-nyiakan waktu dan zaman akan menggilas mereka yang menjeratkan dirinya pada kesenangan sesat dan sesaat. Semoga ada hikmah bagi seluruh pemuda atas berbagai peristiwa yang merenggut nyawa teman-teman mereka akibat pesta miras dan lain sebagainya. Bagi para pelaku tentu bukan sekedar adanya efek jera, melainkan butuh penanganan serius agar bisa sembuh.
Peran orangtua atau wali dan keluarga lebih dituntut sebagai role model yang baik bagi anak. Para orangtua siap bercermin apabila ada sikap buruk dari seorang anak. Pendidikan agama lebih diprioritaskan, kendati di lingkungan religius sekalipun masih terjerat kasus miras, bagaimana jika kehidupan jauh dari nilai agama?. Serta harmonisasi dan komunikasi dalam keluarga yang perlu diupayakan dan dijaga utuh.
Peran kalangan pendidik, sekolah atau kampus hingga organisasi masyarakat, LSM dan media massa sebagai penyuluh atau jembatan informasi yang secara tidak langsung mempunyai peranan preventif dan penyeimbang dari derasnya arus informasi dan globalisasi.
Peran BPOM (badan pengawas obat dan makanan), sudahkah menjalankan kewenangannya dalam hal pengawasan peredaran miras?. Apabila peredaran miras oplosan bukan kewenangan BPOM, tetapi selama ini apakah produksi dan distribusi miras (baik yang diproduksi lokal atau impor) sudah benar-benar dibawah kendali ketat dan terpadu dari BPOM?.
Aparat penegak hukum contoh kepolisian sebagai pelindung masyarakat seharusnya bertindak lebih sigap dan cepat terhadap orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan ingin merusak anak bangsa dengan mengedarkan miras oplosan, bukan malah menjadi oknum yang terlibat dalam peredarannya. Sanksi yang lemah selama ini menjadi celah bagi pengedar untuk mengulang aksinya kembali.
Pada tingkat pemilik kebijakan, perlu keseragaman peraturan daerah tentang pelarangan total peredaran miras tanpa pengecualian apapun atau tanpa peraturan yang bersifat parsial. Hal itu sebagai penyokong bagi semua pihak dalam menjalankan peranannya. Bagi daerah yang sudah memberlakukan perda antimiras, maka perlu ditinjau kembali penerapannya dan menindak tegas setiap pelanggarannya. Bagi aparat pemerintah sudah sepatutnya lebih berpihak pada kepentingan anak bangsa dibanding kepentingan para penguasa atau pengusaha demi membangun generasi muda untuk masa depan.
Comments
Post a Comment